Acara Media & Information Literacy (MIL) Changemakers Seminar di UKRIDA, Jakarta (12/11/2025). Sumber : Laman AJI Indonesia
JAKARTA - Didukung badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, yang membidangi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, organisasi wartawan Indonesia satu-satunya yang diakui lembaga pers internasional, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) menyelenggarakan Media & Information Literacy (MIL) Changemakers Seminar di Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta Barat, pada Rabu (12/11/2025).
Dari sumber laman AJI Indonesia, acara ini menghadirkan empat narasumber, yakni Kepala Biro Umum, Hubungan Masyarakat, dan Pengadaan Barang dan Jasa Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), Manifes Zubayr; Wakil Ketua Dewan Pers, Totok Suryanto; Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida; serta Ketua LPM Paradigma UIN Kudus sekaligus penerima Fellowship MIL, Firda Maulidatin Ni’mah.
Acara bertajuk “Pers Mahasiswa dan Literasi Media: Menguatkan Nalar Publik di Era Disrupsi Digital” dipandu oleh Gloria Fransisca Katharina Law dari AJI Jakarta ini menghadirkan diskusi seputar pers, pers Mahasiswa dan tantangannya.
Wakil Ketua Dewan Pers, Totok Suryanto yang berbicara dalam diskusi saat itu menyoroti tantangan besar yang dihadapi dunia pers, salah satunya campur aduk kepentingan bisnis dan idealisme jurnalis. Menurut Totok hal itu justru mencederai peran jurnalis dalam memberikan informasi yang benar dan akurat bagi publik.
“Pengkhianatan tugas mulia jurnalis juga tidak lepas dari sistem yang dibuat rezim. Hari ini, rezim merusak ekosistem pers. Akibatnya, berita yang banyak beredar malah tidak berpihak pada masyarakat dan malah dibuat demi kepentingan pihak tertentu saja,” ungkap Totok.
Totok juga menyinggung fenomena disrupsi digital yang melahirkan banyak media yang belum kompeten dan tidak profesional. Kedua tantangan tersebut tidak hanya memperberat kerja jurnalis profesional melainkan juga dirasakan oleh pers mahasiswa.
“Tantangan pers mahasiswa ini berlapis, selain karena banyaknya informasi yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya. Mereka juga rawan secara perlindungan dan pengakuan karena belum memiliki regulasi yang jelas. Dewan Pers, sebut Totok, terus mendukung upaya perubahan Undang-Undang Pers agar perlindungan terhadap pers mahasiswa dapat diperkuat.
"Di tengah situasi rezim penghancur pers dan gejolak disrupsi digital, masyarakat dituntut untuk lebih waras dan kritis dalam menyikapi produk jurnalistik dan informasi. Selain itu, ia mengingatkan bahwa pers harus tetap mempertahankan profesionalisme dengan menjaga garis api antara kepentingan bisnis dan prinsip-prinsip jurnalistik agar marwah jurnalistik tidak tergadaikan," ujarnya.
Sedangkan Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida menyoroti Rentannya pers mahasiswa imbas dari ketiadaan regulasi yang jelas. Diutarakannya bahwa MoU yang dibuat bersama Kemendikbudristek pada 2025 belum cukup melindungi pers mahasiswa.
“AJI secara penuh mendukung pers mahasiswa karena kami percaya bahwa mereka adalah embrio-embrio jurnalis di masa depan. Kami juga secara konsisten memberikan dukungan dan perlindungan ketika terjadi kriminalisasi kepada pers mahasiswa selama ini,” tuturnya.
Bukan hanya itu dukungan AJI juga melalui pemberian penghargaan khusus bagi pers mahasiswa pada setiap peringatan ulang tahun organisasi wujud dari kepercayaan AJI terhadap kualitas karya dan semangat pers mahasiswa.
“Karena posisinya yang rentan, pers mahasiswa harus terus mengembangkan kemampuan dalam melakukan kerja jurnalistik. Hari ini tidak cukup hanya 5W+1H serta struktur piramida serta piramida terbalik doang. Namun harus beradaptasi dan memulai ke arah jurnalisme konstruktif, investigasi, serta yang paling penting fact checking berlapis,” ujar Nany.
Sementara itu Firda Maulidatin Ni’mah, Ketua LPM Paradigma UIN Kudus sekaligus penerima Fellowship MIL, menceritakan pengalaman mengembangkan literasi media di kalangan mahasiswa dan masyarakat bersama teman-temannya.
Bagi Firda, media yang lebih efektif untuk menyampaikan pesan edukasi kepada masyarakat hari ini tidak bisa semata mengandalkan produk tulisan. Harus variatif dan menarik serta dekat dengan masyarakat. Maka pilihan Firda jatuh pada film.
Film yang dipilih adalah masifnya ujaran kebencian di sosial media. Kebebasan berekspresi dan mengutarakan pendapat di sosial media masih kerap dipahami secara salah kaprah oleh banyak orang.
“Karena di media sosial banyak ujaran kebencian, jadi kami ingin menekankan bahwa kebebasan berekspresi juga punya batasan. Sehingga tidak boleh secara serampangan menyebarkan ujaran kebencian kepada sesama pengguna media sosial,” kata Firda mengakhiri cerita pengalamannya.
